Zaman dahulu kala, di lautan luas hiduplah seekor ikan paus yang kesepian. Ia merasa lautan yang amat luas begitu sempit. "Aku harus...

Paus Yang Rela Manikahi Kerbau

03:21:00 katapena.info 0 Comments

Paus Yang Rela Manikahi Kerbau

Zaman dahulu kala, di lautan luas hiduplah seekor ikan paus yang kesepian. Ia merasa lautan yang amat luas begitu sempit. "Aku harus melihat dunia yang lebih luas dari ini," bisik hatinya semangat."Terumbu karang, pasir, air yang asin, aku sudah muak dengan mereka. Hanya aku yang sendiri, mereka tidak bisa jadi kawan yang mengerti. Aku harus pergi!"

Ikan pauspun siap-siap berangkat. Ia berenang melewati lautan luas ke sebuah kuala. Ia akan berenang mengarungi panjangnya sungai.

Ia terus berenang tanpa henti sambil menikmati perubahan suasana pelan-pelan. Air asinpun secara perlahan berubah tawar. "Wah, air dengan rasa seperti ini sedap juga rupanya, ya?" Tapi kurang sedap bila cuma menikmatinya sendiri. Wajahnya murung kembali.

"Hei, kamu ikan paus, ya?" suara kecil terdengar di belakang paus.

Bukannya menjawab, paus malah terheran. "Hei penyu, kenapa kamu disini?"

"Oh, aku sudah lama ada disini. Dulunya aku diasuh manusia, lalu dilepas ke laut, terus aku bosan dan jalan-jalan kemari deh."

"Oh ya, mau jadi kawan perjalananku?" Wajah murung paus mendadak bersinar. Kehadiran penyu seperti angin segar dalam perjalanannnya yang sepi.

"Memangnya kamu hendak kemana?"

"Aku sedang mencari, ah... aku tidak tahu. Aku hanya sedang ingin berenang dan terus berenang untuk menikmati dunia yang ternyata luas juga, ya, Penyu?"

Penyu dan ikan paus pun memutuskan berpetualang berdua. Di dalam perjalanan, mereka bertemu dengan banyak hal. Eceng gondok, lintah, pacet, dan lain sebagainya yang membuat ikan paus ternganga.

"Mereka semua penghuni air tawar, ya? Dan yang menggelikan itu siapa namanya tadi? Pacet? Dia nggak bisa berenang, ya? Dia cuma jalan-jalan di rumput-rumput basah gitu. Wah, kamu tahu Penyu, baru kenal pacet itu, tubuhku terasa geli-geli jijik begitu."

"Oh, itu namanya kamu fobia sama pacet, Us." Paus terheran kembali. Penyun melanjutkan ucapannya karena mengerti ekspresi paus. "Fobia itu artinya ketakutan yang luar biasa, Us. Kamu takut, tapi kamu nggak tahu alasannya apa. Aku pernah mendengar itu pada pengasuhku dulu. Dia manusia yang fobia sama kodok. Padahal menurutku, kodok itu sangat imut, Us."

Paus mengangguk kagum. "Aku jadi ingin ketemu manusia."

"Oh ya, hati-hati, Us, sama pacet. Dia dan lintah itu penghisap darah. Kalau dalam alam manusia disebut dengan vampir. Hmm ada lagi, namanya rentenir. Mereka suka ngisap darah orang miskin."

"Orang miskin itu kayak mana, Nyu?"

"Yah kayak kita, nggak ada rumah, juga... nggak ada pasangan hidup, hehe..." Penyu nyengir.

"Ada-ada aja kamu ya, Nyu. Kalau bercanda bisa bikin perutku tambah sakit. Tapi kamu keren, kamu adalah binatang jelek yang paling jenius yang kukenal, hehe..." Kali ini paus yang nyengir.

***
Setelah berenang seminggu, akhirnya paus dan penyu sampai ke sebuah sungai dekat perkampungan. Ia melihat ada binatang bertanduk, berkulit hitam dengan wajah yang sangar sedang mandi. Badan paus lumayan besar dibandingkan ikan-ikan sungai, tapi amat kecil bila dibandingkan dengan binatang itu.

"Penyu, itu binatang apa? Wajahnya kok nampak galak kali? Aku baru sadar, kamu lumayan cantik bila dibandingkan dia."

"Jangan bercanda! Kami dari spesies dan marga yang berbeda, mana bisa disamakan! Itu namanya landak, Us." Penyu menyernyit sambil memperhatikan binatang yang mandi itu. "Eh bukan kayaknya, sepertinya.... sepertinya namanya badak."

Paus tiba-tiba berenang cepat menghampirinya. Penyu menyusul dengan penuh kekhawatiran. Ia berbisik, "Binatang itu peliharaan manusia, Us. Kalau ketangkap manusia, kamu bisa dimakan mereka, Us. Ayo kita pergi." 

Paus tidak peduli. Ia semakin tertantang. 

"Hei badak tua, kamu sedang apa?"

"Dia sedang mandi idiot!" sergah Penyu. "Jangan basa-basi sama hewan galak itu."

"Kami bukan badak, tapi kami kerbau," ucapan dibalik badan binatang besar itu. Penyu dan paus keheranan, mereka sibuk mencari asal suara itu. 

"Wah, aku tak pernah melihat kalian sebelumnya," sambung suara itu. 

"Hah?" Paus dan Penyu terkejut. Ada kembaran binatang besar itu yang sangat kecil kini di hadapan mereka. Tubuhnya persis sama seperti porsi paus yang tak terlalu besar bila dibandingkan paus jaman now. "Aku anak dari kerbau ini, tapi waktu kecil aku kena virus polio, jadinya tubuhku gak bisa besar lagi."

Kerbau kecil itu tiba-tiba menangis. 

"Kamu kenapa menangis?" Penyu heran.

"Aku dalam masalah besar!"

"Masalah apa?"

Kerbaupun menceritakan kisahnya. Ia harus menikah karena umurnya sudah 30 tahun. Seluruh keluarganya galau karena dia sudah menjomblo selama itu. "Wah, aku juga sudah ngejomblo selama 25 tahun, Bau. Eitss, tunggu, kamu jantan apa betina, Bau?"

"Jantan, Us."

"Wah, aku betina, Bau. Bagaimana kalau kamu menikah denganku saja?"

"Whatssssss, mana bisa begitu," potong Penyu. "Kalian beda agama, eitss bukan... Kalian itu beda spesies, beda marga. Wah, kamu habis minum soju ya, Us?!"

"Kukira kamu jenius, rupanya bagian itu kamu blo'on, ya, Nyu?" ejek Paus. "Menurut buku yang aku baca--,"

"Baca buku darimana?" potong Penyu sinis.  "Mana ada penulis, apalagi perpustakaan di lautan? Kalau bohong sekolah dulu deh. Orang sering cabut sekolah, jangan sok mau ngebohongi juara kelas!"

Mata Paus dan Kerbau menyipit. "Dia mulai ngaur, Bau. Abaikan saja. Anggap saja angin lalu, tong kosong, kentut pacet. Jadi, kamu mau jadi suamiku?"

"Kebalik, Us. Aku aja yang nanya, ya? Kamu mau gak jadi istriku, Us?"

"Jawabannya..., Why not?"

"Artinya?"

"Kenapa tidak? Hehe, aku sering baca buku, Bau. Tapi, dimimpiku. Entah kenapa mimpiku keren banget. Sebelum aku melihat hamparan luas ini, air yang rasanya tawar ini, terlebih dahulu aku sudah memimpikannya. Kamu ngerasa gak, kayaknya aku indigo deh, hehe..." 

Kerbaupun takjub. Penyu tak bisa berkata apa-apa lagi. Akhirnya mereka menikah. Saksinya adalah kodok, ikan gabus, dan lele. Ada beberapa ular yang diundang. Tapi paus melarang penyu mengundang pacet dan lintah sebab mereka rentenir. Paus merinding membayangkan itu. "Mereka sungguh tidak hewani, Nyu!"

Awal pernikahan terasa manis. Tapi, lama-lama paus mulai bosan hidup di sungai. 

Paus mengomel, "Ternyata sungai ini tak sebaik yang kukira. Banyak manusia idiot yang buang sampah dan kotoran sembarangan. Aku ingin balik ke laut, Mas Kerbau." 

"Loh, bukannya dulu kamu bilang tempat ini menyenangkan? Banyak pohon, air tawar--,"

"Jujur, air tawar bukan seleraku!" ketusnya. "Warnanya sering banget kekuningan. Jorok! Bayangkan laut, selalu biru dan jernih."

Kerbau mulai geram. "Kenapa kamu baru jujur sekarang?!"

"Karena untuk mendapatkan cintamu, aku harus menjadi seperti dirimu, kan? Baru kita bisa dikatakan serasi."

"Itu tidak benar! Berarti kamu tidak ikhlas menikah denganku. Baik, silahkan kembali ke laut. Tapi....,"

"Tapi apa?"

Kerbau memperhatikan perut bunting istrinya. "Kalau anak kita lahir seutuhnya mirip dirimu."

"Baik."

Seminggu setelah itu lahirlah anak mereka. Paus sangat senang karena anak mereka seutuhnya mirip paus. Paus pun siap-siap meninggalkan sungai. Tapi sayangnya penyu tak mau ikut. Ia tetap memilih tinggal bersama kerbau. Ia kecewa pada sikap paus yang mengatakan benci pada air tawar, padahal dulu ia bilang sangat menyukainya. 

Akhirnya paus pergi bersama anaknya dengan balutan air mata kerbau. Rupanya, nasib buruk menimpa paus. Ia ditangkap kapal nelayan. Nasib baik anaknya selamat. Ia tumbuh besar dan menikah lalu melahirkan anak-anak dan menjadikan komunitas yang banyak. Daging paus pun beda dengan ikan-ikan yang lain karena pernikahannya dengan kerbau. Rasanya seperti daging sapi muda bila dimakan. Lezat sangat! 


Sekian. Apa hikmahnya? 

1. Jangan durhakan pada suamimu!
2. Berkatalah selalu jujur!
3. Hidup hanya sekali, nikmat apa yang ada sebelum kamu mati. 

0 komentar:

Tentang Penulis