Antara Cinta Mu dan Hatiku
Matahari
ini terasa tak mampu memberikan sinar kepada mata ku. Sejauh mata memandang
hanya kegelapan yang ku dapat. Perjalananku di lalui dengan meraba pada jalan
setapak yang berduri tajam. Aku terdiam di bawah pohon yang rindang kala sore
yang cemerlang bersama harumnya rerumputan yang di ayunkan oleh desiran angin
sepoi-sepoi bersama biru nya lukisan cakrawala yang menyejukkan batin.
Hayalanku melayang pada satu ketika saat batinku masih terikat pada satu kisah
yang masih melekat di mata batinku, masih mampu ku raba lewat nafas-nafas
jiwaku.
“ Selamat pagi Kiki. Dunia telah
menantimu” Afifa tersenyum.
“ Aku masih takut”
“ Kenapa ?. Kebahagian itu bukan
untuk di takutkan”
“ Aku ragu”
“ Tak ada yang tau jalannya
bagaimana kalau kita tak berani menerjangnya”
“ Apa aku harus pergi ?”
“ Chayyo.. Fighting !”
Kaki ku mulai melangkah bersama
seorang pria yang memakai baju kemeja pink. Dia selalu terlihat membagi senyum
kepadaku dengan ikhlas. Wajahnya sangat manis saat tersenyum membuat hatiku
tertegun. Pikiranku melayang-melayang pada dunia yang aku tak tau apa. Aku
terus saja melihatnya hungga tak tersadar kaki ku telah berhenti di suatu
tempat.
“ Kamu suka kebun binatang ?”
“ Suka”
“ Binatang apa yang kamu suka ?”
“ Monyet dan ayam”
“ Hmm.. Jarang-jarang cewe suka
mereka. Biasanya cewe suka burung yang cantik atau serang semacam kupu-kupu”
“ Aku suka mereka. Karena monyet
cerdas dan ayam lucu”
“ Hmm.. “
Kami berjalan kembali melanjutkan
perjalanan menyusuri jalan-jalan yang mengelilingi rumah-rumah kecil tempat
binatang tinggal yang diciptakan manusia. Laki-laki ini terlihat begitu
bersahabat dan tampak sangat lemah lembut. Rambutnya yang runcing-runcing makin
menambah keindahannya.
“ Dek”
“ Iya”
“ Siapa pacar kak Ovi ?, Adek tau ?”
“ Kak Ovi belum punya pacar bang.
Dia masih sendiri”
“ Ada gag cowo yang laigi deket sama
kak Ovi sekarang ?”
“ Setau Kiki belum ada bang !”
Sekarang kami sudah berada di suatu
tempat dengan suasana alam. Terlihat hamparan rerumputan yang luas yang seolah
lukisan yang maha indah sedang menghibur mata yang selalu ingin diselimuti
keindahan. Dua pasang makanan sudah terhidang didepan kami.
“ Abang gag tau harus bagaiman
memulainya”
“ Apa bang ?”
“ Kamu mau gag bantu abang ?”
“ Kalau Kiki bisa bantu, dengan
senang hati”
“ Abang suka sama kak Ovi, tapi
abang tidak tau harus memulainya bagaimana. Kak Ovi tidak pernah menghiraukan
abang”
Hatiku terasa di bantai dengan
petir-petir yang mampu meluluh lantahkan dunia. Aku terjebak pada cinta yang
sulit ku mengerti. Bang Fadil adalah teman kak Ovi yang selalu bermain ke rumah
kontrakan kami. hatiku selalu bergetar apabila melihat sosoknya berada di
antara bayang-bayang semu dan nyata dalam hidupku. Kak Ovi adalah orang pertama
yang tau hal ini, sehingga membuat hatiku semakin bimbang karena ternyata
dukungan cinta yang diberikan kak Ovi tak akan pernah pantas ku genggam. Aku
terdiam menanggung kesakitan yang kini ku tanggung, mencoba menerima bahwa cinta yang ku bisa mnejadi
milikku malah untuk seseorang yang selalu memberikan semangat, yang ku anggap
seperti kakak kandungku sendiri dan yang paling menyakitkan bahwa ternyata
cinta itu untuknya.
“ Dek !. Kenapa diam ?”
“ Hanya sedang berpikir”
“ Mau kan bantu abang membuat kak
Ovi memberikan hatinya untuk abang”
“ Kiki gag janji. Tapi Kiki akan
mencoba berusaha demi abang “ aku tersenyum.
“ Makasih ya dek !”
“ Makasih juga karena uda bawa Kiki
jalan-jalan. Abang orang pertama yang pergi bersama Kiki untuk jalan-jalan”
“ Kiki gag pernah pergi bersama
cowok ?”
“ Hmm.. pernah. Sama Ayah dan adik
Kiki, selebihnya gag ada”
“ Kenapaa ?”
“ Gag kenapa-kenapa”
Kami terlihat asik menyantap makanan
yang kini berada didepan kami. Tak ada lagi kata-kata yang keluar dari mulut
keduanya. Mereka asik menyantap sambil melihat indahnya suasana alam yang
terlihat disekeliling mereka. Sesekali aku mencoba mencuri-curi pandang pada
bang Fadil. Berat sekali menahan batin yang di baluti kebimbangan. Kenapa
disaat aku mulai berani meraih mimpiku yang bukan hanya cinta hanyalan harus
begini ?, Kenapa orang yang diinginkan bang Fadil adalah kak Ovi bukannya aku
?. Tuhan, aku berharap jika bukan aku yang ada dihatinya, jangan kak Ovi. Aku
takut kehilangan keduanya.
Waktu telah mengantarkan aku kembali
ke istana tercintaku bersama kak Ovi. Bang Faldi mengantarkannku sampai kerumah
kemudian dia pulang. Aku kagum melihatnya yang begitu pandai bermain peran. Dia
sangat pintar menyimpan rapi perasaannya kepada kak Ovi. Kadang aku cemburu
sekali melihat mereka yang begitu akrab, hal yang tak pernah ku dapatkan.
“ Bagaimana kencannya ?”
“ Bukan kencan kak”
“ Tapi kok lesu kali ?”
“ Mungkin karena agak lelah saja.
Kak, Kiki ke kamar dulu ya ?”
“ Iya” kak Ovi bingung.
Semenjak hari itu, aku selalu
terbayang bagaimana cara membantu bang Faldi dalam hal perasaanya kepada kak
Ovi. Aku hanya dapat terdiam tatkala kak Ovi menanyakan sejauh mana hubungan ku
dengan bang Faldi. Aku ingin sekali membantu walau harus menahan lukaku sendiri,
tapi aku sungguh tidak tahu harus memulai dari mana. Aku sangat bingung
bagaimana…
Sifatku yang pendiam dan seolah
menutup diri dari dunia telah semakin berkabut. Kecerian ku hampir tak
terlihat, dia begitu samar-samar diantara kentalnya kabut bimbang. Aku hanya
berharap kak Ovi tidak akan menyadari dengan perubahanku. Aku selalu berusaha
membaginya senyum, walau hatiku terdiam kaku. Aku taku jika membuat hatiku
tersenyum, karena perubahan sedikit saja yang terjadi mampu membuatnya retak.
Retak yang walau disatukan kembali tetap saja berbekas.
Bang Faldi sering sekali mengunjungi
rumah kami. Aku selalu berusaha bersembunyi darinya jika aku tahu bahwa kini
dia sedang berada di rumah. Aku hanya ingin memberikan kebersamaan kepadanya
bersama kak Ovi sahabatnya. Banyak tempat-tempat yang kudatangi hanya untuk
menghindari bang Faldi. Ini adalah tempat terakhir yang paling membuatku betah,
yaitu dibawah pohon yang rindang bersama rerumputan yang ku anggap bersahabat.
Seolah
tak ada rasa bosan,, bang Faldi semakin sering mengunjungi rumah kami. Aku pun
sudah mulai terbiasa nongkrong di bawah pohon besar yang jaraknya tak terlalu
jauh dari rumah kami.
“ Vi.. Kiki kemana ?”
“ Entah. Dia akhir-akhir ini sering
sekali menghilang tak jelas”
“ Apa dia punya masalah ?”
“ Mungkin dia punya masalah di
kampus. Maklum anak baru, jadi mesti adaptasi yang bagus supaya betah.
Sementara dia aja ku lihat malas sekali untuk berteman dengan orang”
“ Apa ada yang dipendamnya ya ?”
“ Nanti ku tanyakan kalau dia
pulang”
Waktu yang ku habisi disini, sering
ku habisi dengan menulis beberapa puisi dan lirik lagu yang bersimponikan lirih
hatiku. Saat berada disini tak ad aide yang macet dari bilik-bilik otakku.
Semua mengalir begitu saja saat aku mulai memikirkan bang Faldi dan kak Ovi. Hanya
inilah yang bisa kulakukan untuk menjaga semua hati dan semua hubungan.
Kertas-kertas putih yang awlnya hampa telah berisikan coretan-coteran tinta
yang mengalun menjadi bait-bait bermakna. Matahari sudah melambaikan tangannya
ke arah ku. Aku harus pulang.
“ Dari mana kamu ?” tanya kak Ovi
mengagetkan ku.
“ Dari rumah teman kak”
“ Kakak lihat kamu sudah keseringan
seperti itu”
“ Ada banyak tugas mata kuliah
akhir-akhir ini”
“ Apa maslah mu ?, katakana sama
kakak !”
“ Gag ada masalah kak. Kiki lelah !”
“ Apa ada masalah sama bang Faldi ?”
“ Kenapa kakak nanyak gitu ?”
“ Kamu berubah seperti ini setelah
kalian berdua jalan-jalan”
“ Gag ada hubungannya dengan dia
kok”
“ Kakak sudah anggap kamu seperti
adik kakak sendiri. Tolong hargai kakak”
“ Karena Kiki sangat menghargai
kakak, makanya Kiki begini” Aku pergi meninggalkan kak Ovi sendiri di ruang
itu. Hatiku sedih bila harus jujur. Aku merasa sangat bodoh yang menjadi
pengecut pada masalah kecil ini. Aku sangat takut menghadapinya.
*****
Beberapa
hari telah berlalu. Kak Ovi mengajak ku pergi ke suatu tempat untuk membuang
kejenuhan dari aktivitas-aktivitas kuliah kami yang menguras otak. Tempat yang
kami tuju adalah taman berbunga yang sangat indah. Di jalan yang dilalui
terlihat banyak pohon-pohon yang sudah terlihat memiliki umur yang lama.
Dedaunan menghiasi aspal yang kami lalui, orchestra suara angin terdengar
sayup-sayup diantara pepohonan. Banyak bangku-bangku yang terletak dengan jarak
yang jarang di pinggir jalan yang tidak di lalui mobil atau sepeda motor ini.
Kadang-kadang terlihat anak remaja, anak-anak atau orang dewasa bermain sepada
santai di jalan itu. Kami menuju sebuah kursi yang kosong untuk menghirup udara
segar dan bercerita.
“
Bagaimana perasaan mu kepada bang Faldi ?”
“
Kiki hanya menganggpanya seorang abang. Sama seperti halnya Kiki menganggap
kakak layaknya kakak Kiki”
“
Kebohongan itu hanya akan membuat mu masuk kelubang hitam”
“
Apa itu kak ?”
“
Blackhole. Dia akan menghisap mu kesana dan susah kembali lagi”
“
Bang Faldi itu cinta sama kakak”
“
Kenapa kamu berbicara seperti itu ?”
“
Dia yang bilang. Kiki hanya tak mau merusak semua, makanya Kiki selalu berusha
berlari dari hadapan kebersamaan kalian”
Tiba-tiba
bang Faldi terlihat menuju mereka. Aku terdiam karena setelah sekian lama aku
menghindarinya, akhirnya sekarang malah seolah tak bisa dielakkan lagi. Aku
merasa terpojok, tak tau harus pergi ke arah yang mana. Bang Faldi tersenyum
dengan mengendari sepeda menuju ke arah kami. Kak Ovi pun terlihat tersenyum
dengan lembut.
“
Hmm.. Ovi, bolehkah aku pinjam Kiki sebentar ?”
“
Boleh” kak Ovi tersenyum ke arah ku.
“
Ayok ikut abang Ki !”
“
Kiki mau disini aja. Kalian aja yang pergi”
“
Kiki. Ikut aja sama bang Faldi. Kakak disini lagi nunggu seseorang” sambung kak
Ovi.
“
Siapa ?” tanya ku.
“
Seseorang”
“
Ayok Ki !. Naik sini ke boncengan abang !”
“
Iya” aku menaiki sepada bang Faldi walaupun dengan wajah yang bingung.
Aku
dan bang Faldi pergi dengan sepeda ke suatu tempat yang sangat indah. Terlihat
hamparan perairan tenang dengan pepohonan yang mengelilinginya. Aku sangat
kagum dan terpukau dengan keindahan panorama alam natural yang kini berada
dihadapan mataku.
“
Kamu suka tempat ini dek ?”
“
Sangat “
“
Sesuka mana ?”
“
Maksudnya ?”
“
Tempat ini atau pohon besar yang sering adek datangi untuk menghindari abang ?”
Aku
sangat bingung mendengar ucapan yang terlontar dari mulut bang Faldi. Tak ada
yang salah dri yang diuacapkannya. Tapi kenapa dia bisa mengatakan seperti itu
?, apa Cuma tebak-tebak saja ?, tapi tak mungkin tebakannya begitu jitu, sebab
dia bukanlah seorang paranormal yang punya indera ke-enam dalam dirinya. Aku
terdiam memandang heran ke arahnya.
“
Apa kamu kehilangan sesuatu ?”
“
Hmmm ?”
“
Seperti buku ?”
“
Buku bagaimana ?”
“ Entah”
Kami
kemudian duduk dibawah pohon di antara rerumputan bersama sepoi angin yang
bertiup bersama hamparan air yang luas serta tenang. Suasana yang nyaman itu
tak bertahan lama, karena bang Faldi membuat ku bearda pada rasa malu yang
sangat dalam.
“ Merdunya suara
jantungku saat didepanmu tak akan pernah sama saat aku berada di hadapan yang
lain. Begitu syahdu simfoni rindu yang beradu dalam perasaanku. Aku termangu
jika bayang-bayang mu mengalir tanpa permisi di batinku. Semakin bayanganmu
bertamu, semakin aku melekat dan terhisap oleh kegelapan yang mencabik-cabik
kehangatan harapanku. Aku bukan cintamu, Aku bukanlah yang kau rindu dan aku
bukanlah sesosok bidadari dalam tangga-tangga masa depan mu. Aku layu dan
menunduk bisu pada torehan-torehan luka yang kubiarkan semakin menggeruguti isi
dari nyawaku.Kadang aku benci pada rindu yang gagah mengepakkan sayap-sayapnya
menjemputmu. Aku berusaha melawan kepergiannya supaya tidak patah. Tapi dia
terlalu egois untuk menjemput harapan kosong atau bahkan yang paling
menyakitkan harus memeluk pedang. Aku hanya ingin mengatakan pada dunia bahwa
aku mencintaimu walau ku tahu kau takkan mencintaiku dan walau ku tahu dengan
mencintaimu aku harus memeluk pedang tajam dan runcing”
Itu
adalah sebuah puisi ungkapan hati yang kutulis dalam sebuah notes yang sering
ku bawa kemana-mana. Aku masih terdiam karena tak bisa percaya pada kejadian
yang kini ku alami.
“
Adek ternyata pandai menulis kata-kata ya ?”
“
Hmm.. Lumayan”
“
Kamu percaya sama abang?”
“
Sedikit”
“
Kamu percaya atas yang abang bilang tempo hari ?”
“
Iya”
“
Kenapa kamu percaya ?, kenapa tak sedikit saja ?”
“
Karena memang kalian terlihat sangat dekat. Jadi wajar bila rasa itu akhirnya
muncul lam lebih lagi”
“
Tak semua yang terlihat itu benar dek. Adek tau siapa sebenarnya orang yang
paling abang tunggu-tunggu ?, abang rindukan ?, abang berharap dia bisa memakai
perasaannya untuk bertelepati dengan perasaan abang sehingga tak usah abang
katakana pun dia sudah mengerti?”
“
Kak Ovi”
“
Bukan. Abang mencintai seseorang yang selalu lari dari pandangan abang. Padahal
abang setiap hari hanya berharap bisa berjumpa, makanya kerumah adek”
“
Kiki gag negerti bang”
Tiba-tiba
dari arah depan terlihat kak Ovi bersama seorang lelaki yang menuju ke arah
kami.
“
Ki. Dia Cuma mau ngerjai kamu. Kami berdua ini sepupuan” kata kak Ovi.
“
Ngerjai gimana ?”
“
Abang Cuma mau melihat sebatas mana ikatan emosional kita. Asal adek tau, abang
selalu mengirimkan telepati kepada adek supaya adek rindu sama abang”
“
O… gitu ?”
“
Tapi adeknya gag pernah bisa mengerti”
“
O iya, ini pacar kakak. Kenalin, namanya bang Rahmat. Kami sudah pacaran 2
tahun dan dia kuliah di semarang”
Bang
Faldi dan aku kemudian saling berjabat tangan dengan pacar kak Ovi. Ternyata
benar kata bang Faldi, tak semua yang terlihat itu adalah benar. Kak Ovi yang
ku kira tak punya kekasih karena kesibukannya yang focus pada kuliah ternyata
salah.
Kami
saling bercerita dan tertawa ceria di sore itu. Perasaan ku sekarang sudah
mulai lega karena yang kupikirkan tak sesuai dengan kenyataan. Sifatku yang
maniak terhadap hayalan ternyata terbawa-terbawa kemana-mana.
Tiba-tiba
bang Faldi duduk mendekat dasampingku,
“
Jadi mau kemana kita ?” tanyanya.
“
Pulang”
“
Bukan itu”
“
Jadi ?”
“
Pacaran kita ?”
“
Hmm.. “
“
Adek mau gag jadi kekasih abang ?”
“
Mau” jawab kak Ovi.
“
Mau dia. Cuma gengsinya besar kali” sambung kak Ovi.
Suasana
sore itu terasa sangat menyenangkan. Aku merasa bagai berada disurga yang
sangat indah. Kami berempat menghabiskan waktu ditaman itu dengan sangat
bahagia yang dipenuhi gelak tawa. Akhirnya cinta pertamaku kini menjadi pacar
pertamaku. Semoga kami bahagian selamnya sampai nenek-nenek dan kakek-kakek.
Will always forever.
The
END
0 komentar: