"I am alone, and i love you forever." Roni berpikir untuk menikahi Dea, adik dari Novi yang merupakan pacarnya sejak SMA. Me...

Cinta yang Tak Dapat Dimiliki

06:13:00 katapena.info 0 Comments

Brokenheart Woman
"I am alone, and i love you forever."

Roni berpikir untuk menikahi Dea, adik dari Novi yang merupakan pacarnya sejak SMA. Mereka sudah menjalin kasih selama delapan tahun—sejak kelas satu SMA sampai tamat kuliah—dan tentunya mereka sudah banyak sekali melukis impian dan kenangan bersama-sama. Lantas bangaimana Roni dan Novi harus menerima kenyataan tatkala cinta mereka tiba-tiba harus kandas di tengah jalan, sementara mereka masih mempunyai bara rasa dalam dada yang membuncah? Pertanyaan itu adalah jawaban mengapa Roni akhirnya mengotot untuk dapat menikahi Dea. 
“Bolehkah aku menikahi adikmu saja?” pinta Roni kepada Novi di suatu sore, di pinggir pantai. Dengan berlinangan air mata, Novi menyahut, “Jangan! Tidak mungkin aku dapat menyaksikan kalian bersama-sama, tinggal serumah bersama, mempunyai anak bersama. Itu adalah impianku! Impianmu! Impian kita! Bukan impian Dea.”
Roni tetap mengotot dengan keinginannya, meski hatinya cukup perih melihat sang pujaan hati berderaian air mata karena amat terluka. “Tapi, dengan begitu aku akan dapat melihatmu selalu,” protes Roni. “Aku akan dapat menyaksikan perjalanan hidupmu. Aku tidak akan kehilangan berita tentangmu. Dan aku... aku dapat mencintaimu dengan caraku sendiri.”
“Mencintaiku dengan caramu sendiri?” ulang Novi tak dapat menerima ucapan Roni. “Dengan cara menikahi adikku sebab kamu tidak bisa menikahiku? Itu adalah cara mencintai yang konyol!” Dia membantah keras. Tapi, Roni tetap bersikukuh dengan niatnya tersebut. Dia yakin, cara ini adalah jalan terbaik bagi hatinya. 
Mentari mulai menyusup pelan-pelan ke peraduannya. Kemuningnya menyunggingkan cakrawala dengan gemilang, seolah hendak menghibur dua insan yang sedang diterpa gejolak nestapa hebat yang merabik relung batin. Desir ombak dengan suasana nyaris senja semakin riuh, mungkin sama seperti dua detakan jantung insan tersebut setiap kali bertemu; detak jantung cinta; namun demikian cinta mereka tetap harus berakhir. 
***
“Kakak, apa aku batalkan saja pertunanganku dengan Bang Roni?” Dea bertanya dengan hati-hati kepada Novi yang telah menegarkan dirinya untuk menerima kenyataan yang teramat pahit itu. Ini sudah sebulan setelah percakapannya dengan Roni di pinggir pantai. Roni pun telah melamar Dea dua minggu setelah itu. Novi menggigit bibirnya, menutup matanya terhadap semua rasa perih yang dialamai dengan memfokuskan diri untuk berkeliling kota dengan kegiatan pemotretan—Novi adalah seorang fotografer—itulah yang dia lakukan untuk dapat memburamkan kenangan dan perasaannya kepada Roni. 
Sambil membersihkan meja kerjanya—di studio miliknya—Novi berkata tanpa menoleh kepada Dea, “Jangan. Saat kamu menolak kenyataan dalam garis takdirmu, maka kamu akan menemukan kekecewaan yang membuat hidupmu tak bahagia. Tapi, jika kamu menerimanya dengan ikhlas, tanpa beban, maka hal yang kamu tolak itu lama-lama akan menjadi bagian dari dirimu, dan kamu akan bahagia karenanya.” Dea tak berkutik di samping kakaknya, air matanya berderai karena merasa bersalah. Novi berkata kembali sambil menoleh kepada Dea dengan tajam, “Kakak tidak sekonyol pemikiran Bang Roni, tunanganmu. Dia menikahimu karena....” Novi merasa tidak enak  hati apabila mengatakan, “Karena dia tidak bisa menikahiku.” Akhirnya dia berkata dengan senyum simpul yang perih, “Ah, sudahlah. Tidak perlu dibahas lagi. Kakak dengan Bang Roni adalah masa lalu yang telah menjadi puing kenangan. Dia adalah masa depanmu, Dik.”
“A-apa Kakak masih mencintainya?” Dea bertanya dengan hati-hati. Novi cukup paham, apabila dia menjawab dengan jujur, maka Dea akan terluka dan ragu dalam menjalankan perannya sekarang—calon istri Roni. Maka, Novi pun berkata kalau dia sama sekali tidak mencintai Roni lagi. Namun apabila Dea adalah seorang yang peka dan mengerti, bahwa cinta yang dalam tak akan mudah terbakar oleh waktu, maka dia akan paham bahwa kakaknya masih sangat mencintai Roni. Walau demikian, Novi pun sangat mengerti, bahwa adiknya ternyata selama ini diam-diam mencintai Roni; Dea jatuh cinta kepada kebaikan, ketampanan dan ketulusan yang selalu Roni berikan kepada kakaknya, dan karena hal tersebutlah dia pun menerima pertunangan yang diajukan Roni.
Sebagai anak pertama, Novi harus paham, bahwa jodoh adalah hal sakral yang hanya boleh ditentukan oleh keluarganya. Itu adalah tradisi keluarganya yang telah dianut sejak zaman eyang buyut, dan tentunya tidak boleh dilanggar. Dengan berat hati pun, dia harus menerima Fandi, seorang polisi yang sebaya dengannya yaitu 25 tahun, untuk menjadi calon suaminya. Dea cukup senang ketika akhirnya kakaknya memutuskan untuk mau bertunangan dengan Fandi. Akan tetapi, tidak dengan Novi; Rasa-rasanya air matanya sudah memenuhi seluruh rongga dada, membuatnya sesak, ketika Roni terlihat hadir pada acara pertunangannya. Dia duduk di sebelah  Dea. Itu sungguh-sungguh pemandangan yang sangat buruk baginya—hingga jika ada pilihan untuk hidup atau mati, dia akan memilih mati pada saat itu juga; begitulah efek cinta yang dasarnya nikmat ketika berubah menjadi racun yang membuat pemiliknya lupa pada kenikmatan lainnya.
Setelah acara itu, Novi sering menggebah hatinya untuk dapat melupakan Roni; pada kenyataannya, semakin kita berusaha melupakan seseorang, sesungguhnya secara tidak langsung kita sedang berusaha mengingatnya. Begitulah yang terjadi pada Novi; dia tak bisa berhenti untuk menyayangi Roni. Sebaliknya, Novi merasa kalau Dea dan Roni sangat bahagia sekarang. Mereka sering terlihat berduan di rumah dengan melakukan berbagai aktifitas yang menyenangkan bersama: memasak, menonton televisi, membantu skripsi Dea, dan lain sebagainya. Dea adalah mahasiswa tingkat akhir, mereka akan menikah setelah dia tamat kuliah. Setiap kali Novi tak sengaja melihat mereka, dia hanya mampu tersenyum palsu dan kemudian berlalu meninggalkan mereka. 
Untungnya Novi mempunyai hobi melukis—selain memfoto—dan itulah yang sering dilakukannya ketika berada di rumah. Awalnya, hobi tersebut cukup membantu untuk menjadi pengalihan mengenai bayang-bayang kenangannya bersama Roni, namun pelan-pelan hobi itu malahan menjadi racun; setiap melukis, Novi selalu tak sengaja melukis wajah Roni serta pula tempat-tempat yang pernah mereka kunjungi; Novi pun menjadi frustasi. Untuk menjaga kedamian rumah—karena orang tuanya sangat murka jika melihat itu, dan Dea tentu akan sedih—maka lukisannya pun di simpan di rumah Haikal, teman dekatnya.
“Maukah Kakak menceritakan pertemuan pertama Kakak dengan Bang Roni?” tanya Dea ketika datang ke kamar Novi. Dia duduk di atas tempat tidur dengan tatapan penuh harap. Tentunya ini adalah omongan yang tak ingin dibahas oleh Novi, dan dia ingin menolak untuk menjawabnya. Tapi Dea memaksa, “Ayolah, Kak! Aku sangat penasaran.”
“Apa kamu mencintai Bang Roni?” tanya Novi balik dengan hati-hati. Dea mengangguk. “Sungguh-sungguh?” Dea mengangguk kembali. Akhirnya Novi tak punya pilihan lain selain menjawab pertanyaan adik yang amat disayanginya tersebut. Dia bercerita bahwa Roni yang duluan mencintainya, dan dia mengejar-ngejarnya ketika SMP sehingga kemudian mereka pun jadian ketika SMA. Saat dia mendeskripsikan bagaimana perasaannya kepada Roni, Dea diam dan melempar tatap penuh ketelitian kepada kakaknya. “Apa aku salah bicara?” tanya Novi heran. Dea tidak menjawab, hanya menggeleng saja dengan senyum yang seolah terlalu dipaksakan.
***
Novi memutuskan untuk pergi  ke Jerman sebulan sebelum acara pernikahan Dea dengan Roni  dengan alasan bahwa  ada pekerjaan yang harus ia kerjakan di sana. Dia meninggalkan ibu kota yang sangat dicintainya demi tidak ikut menyaksikan hal yang belum bisa ia ikhlaskan—walau sebenarnya ia sangat ingin mengikhlaskan itu. Setelah tiga bulan berada di sana, dia pun pulang. Ketika sampai di rumah, hal yang paling menyakitkan pun terjadi; kamar pengantin Dea dan Roni berada di hadapan kamarnya. 
Terkadang Roni dan Novi sering berpapasan ketika keluar dari kamar—yang berada di tingkat dua—untuk turun tangga menuju  ruang keluarga, atau ruang-ruang lainnya. Dia menelan ludah dengan sudah, dan merapatkan gerahamnya untuk menahan luka. Serta menunjukkan bahwa dirinya baik-baik saja.
Sesekali Novi terbayang kepada ucapan Roni yang mencintai dirinya dengan caranya sendiri. Tapi, Novi percaya, bahwa kebersamaan akan menjembatani cinta—dengan sering bersama, dia dan Dea akan benar-benar bersatu dalam satu cinta. Walau demikian, ia benar-benar ingin bertanya apakah Roni masih mencintainya, ‘dengan caranya tersebut’. Dia bukan ingin melakukan sesuatu hal dengan jawaban Roni nantinya, akan tetapi dia hanya sangat penasaran atas jawabannya. 
Seperti keinginannya, dia pun bertanya kepada Roni tentang hal itu. Roni menjawab dengan lugas, “Aku rasa, aku tidak perlu menjawab pertanyaanmu itu. Sebab apa pun jawabanku, tidak akan berpengaruh pada hubungan kita.” Sungguh jawaban yang tidak pernah terduga, dan Novi sangat terluka dengan jawaba tersebut. Tapi itu wajar, Roni memang orang yang selalu realistis. Dia cukup paham bahwa hal itu memang bukanlah hal yang harus dibicarakan lagi sekarang. Novi dapat melihat dari pandangannya, dia ingin dirinya move on, dan dapat melihat dunia dengan luas. Karena Novi merasa bahwa Roni yang ia kenal, yang sangat ia cinta adalah sesuatu yang sangat jauh, maka ia pun bangkit untuk duluan meninggalkannya di kafe, padahal Novilah yang menelponnya agar mereka dapat bertemu di sini. 
Tapi, hal yang tak terduga membuat mereka harus bertemu kembali setelah  berpisah di kafe. Dea ternyata kecelakaan, dan dia sedang kritis di ruang operasi. Novi dan semuanya menunggunya di luar ruangan dengan hara-harap cemas. Syukurnya, Dea akhirnya dapat diselamatnya. Dan kecelakaan Dea membuat aku dan Roni sering bertemu kembali, kami berdua merawat Dea secara bersama-sama. 
Novi cukup paham bahwa Dea dan Roni adalah suami-istri yang dapat saling berkasih-kasih dan bermanja-manja, itu adalah hal yang wajar meski dilakukan di depan orang lain. Novi merasakan bara cemburu yang membakar rongga dadanya setiap kali menyaksikan hal itu. Dia ingin yang dikasih-kasih, dimanja-manja, disayang-sayang adalah dirinya, bukan Dea! Kenyataan itu cukup pahit, terlebih karena dia terpaksa melihat pemandangan itu setiap waktu, dan dia hanya dapat berdiam diri dengan sunggingan senyum simpul saja. Seandainya dia bisa berteriak, dia akan berterikan dengan kuat, “Aku tidak tahan lagi!” Dia berharap, teriakannya ini dapat didengar oleh seluruh dunia. 
Rasa tidak tahan tersebut membuatnya kehilangan akal. Dia memutuskan pertunangannya dengan Fandi. Dan ketika Roni serta siapa pun tidak ada di kamar rawat inap Dea, dia masuk dan dengan sigap ditutupnya wajah Dea dengan bantal begitu kuat. Air mata menderasi wajahnya, ia dapat dengar bahwa Dea beberapa kali memanggil-manggil namanya dengan susah payah sambil meronta-ronta. “Maafkan Kakak, Dea,” katanya dengan tersedu. Air matanya semakin deras. Akhirnya Dea pun meninggal. Novi yang frustasi akhirnya memutuskan untuk gantung diri sehari setelah adiknya meninggal. Dia tak sanggup lagi menahan luka di dadanya karena cinta yang tak dapat memiliki. 

0 komentar:

Tentang Penulis